Dia Yang Sering Dipanggil Gila
Walau gila, ia juga manusia. Sama seperti Anda dan saya.
Hanya saja kesempatan dan persentase kenormalannya lebih sedikit dibandingkan
kita. Mereka tidak gila, tetapi hanyalah
kenormalan berbatas waktu.
Saya lebih suka menyebutnya, pria berbatas waktu. Hingga usia
23 tahun ini, dua kali sudah merasakan berinteraksi dengan mereka, manua
berbatas waktu. Ingat cerita masa kecil dahulu. Dibelakang rumah nenek terdapat
gubuk kecil yang hanya memiliki dua ruang, yaitu dapur dan tempat tidur.
Menurut saya, nenek berambut putih itu tidak gila, ia hanya perempuan tua
kesepian seorang diri tanpa anak maupun cucu. Mereka memanggilnya gila karena fashion dan bicaranya yang acapkali menasehati
bahkan memarahi anak-anak yang sikapnya kurang sopan santun dalam bergaul,
ditambah lagi, nenek berambut putih dan panjang itu sangat berani menghabiskan
masa tuanya dalam gubuk reok dikelilingi pohon pisang, tebu, dan jenis tanaman
hutan lainnya di seputaran rumah.
Di malam hari ia selalu mengurai rambutnya yang panjang, seluruhnya
putih, belum lagi kulit nenek juga putih. Setiap malam, seusai pulang mengaji
di Balee Beut (Balai Pengajian),
mereka selalu menghampiri nenek ke rumahnya, lalu lari terberit-berit
ketakutan. Ahh, dasar. Bocak itu segaja datang untuk mencari sensasi. Dan
beberapa kali saat pulang ke kampung, saya juga ikut melakukan hal yang sama
pula.
Selanjutnya cerita saya bersama pria berbatas waktu lainnya. saat itu saya sedang semangatnya mengejar IPK, diselah-selah kesibukan mengejar tugas kuliah, hadirlah peristiwa yang cukup menggemparkan. Wuihh, seseorang yang kena dekat dengan saya, akibat ulahnya, alhasil harus menjalani rehabilitasi akibat kecanduan ganja dan narkoba. Keluarganya pun kewalahan hingga berakhir dengan pengobatan ala kampung.
Selanjutnya cerita saya bersama pria berbatas waktu lainnya. saat itu saya sedang semangatnya mengejar IPK, diselah-selah kesibukan mengejar tugas kuliah, hadirlah peristiwa yang cukup menggemparkan. Wuihh, seseorang yang kena dekat dengan saya, akibat ulahnya, alhasil harus menjalani rehabilitasi akibat kecanduan ganja dan narkoba. Keluarganya pun kewalahan hingga berakhir dengan pengobatan ala kampung.
Satu kenangan yang sangat membekas selama proses penyembuhan
tersebut, yaitu tentang dirinya yang mengaku sebagai ulama besar, yaitu seorang
kiai yang wajib dihormati oleh siapa pun yang hendak bertemu atau pun berjumpa
langsung dengannya. Bermacam dalil, hadist, juga peraturan yang keluar dari
wacananya entah dari mana sumber. Pastinya sumber yang mengaur. Tetapi dibalik
itu semua, ada satu hal yang harus kita terapkan seumur hidup, baik itu
laki-laki maupun perempuan.
Kembali ke masa lalunya yang amat jarang dalam beribadah,
pergaulan bersama teman sebaya di kampung telah menjerumuskan ia ke jalan yang
salah. Menyikapi pergaulan yang kian terbakar api, salah satu keluarga
mengajaknya merantau ke Ibu Kota, alhasil berbulan-bulan di kota, ia berubah
secepat derasnya air terjun. Youp, ia berubah menjadi seseorang yang membuat
orang-orang meler kala bertemu, tercengang, namun hati mereka berbisik,
Astagfirullah...
“Secepat itukah si Amang bertemu teman baru?” Tanya si A
“Ah, mana ada, itu kebiasaan sudah ada sejak dulu,” Bantah di
B
“Betul, hanya saja tingkat kehebatannya meningkat, temannya
orang kota!!” Tanggap si C
Mulailah berkicau mulut orang-orang yang kian menimbulkan
tanda tanya, “Eh, kau kenal dengan si Amang?”
“Kenal-kenal dikit, kenapa?”
“Aah, si Amang kecanduan, obat penenangnya habis, mengamuklah
dia di kampung orang.”
“Prihatin melihat keluarganya, padahal sudah baik diajak ke
kota untuk hidup lebih bagus, eh malah bertingkah itu si Amang.”
“Ho’oh, kacian-kacian-kacian.” Merepet-merepet lah
orang-orang yang biasanya ngerumpi di pondok depan kios, kini beralih di
halaman rumah si Amang.
Bermacam cara keluarga
mengobati Amang agar dapat kembali normal seperti semua. Ibu hanya tersedu-sedu
saat melihat anak lelakinya yang terpasung di kamar belakang.
Hingga akhirnya pengobatan tetap berlanjut walau si Amang
tidak lagi teriak mengusik tetangga. Namun, bukan si Amang namanya jika hanya
diam. Inilah efek dari kerusakan saraf otak akibat terlalu banyak bermain
candu. Karena normal utuh seperti semula tidaklah mungkin.
Si Amang, sang pemuda yang hingga hari ini pun masih terkenang namanya jika sesekali
namanya tersebut. Malah terkenalnya itu akibat ceramah yang telah mengusik para
lelaki maupun perempuan. Youps, si Amang sang Ulama dadakan yang mengeluarkan hadist
fatwa tanpa sumber dan analisa.
“Hai, awak inong, nyan aurat beuk ka pampang bak awak agam,”
siapa saja yang ia jumpai, tidak pernah lupa untuk menengur bahkan menasehati
si wanita tua-muda untuk menutup auratnya. Bahkan dengan ranting pohon yang
ditemui, ia mengejar wanita yang tidak memakai jilbab atau bercelana ketat/
“Pubuet manteung dalam waroeng, kajeut jak seumanyang jumat. Manteung
kaduek sit ngeh!!” dan lelaki tua-muda pun kebagian cepretan amarah si Amang
karena lalai bermain hingga lupa saatnya jumatan.
Bahkan si Amang manusia setengah gila pun tau, bahwa aurat
harus ditutup. Bahwa shalat jumat wajib bagi lelaki, dan bergosipnya para
ibu-ibu akan mendatangkan efek buruk bagi penggosip dan yang digosipkan. Benar,
ia gila. Tapi gila itu telah banyak menyadarkan si gadis yang mula tidak
berjilbab, hingga takut memamerkan rambutnya. Begitu pun kala tiba saatnya
salat jumat, warung ditutup.
Maka, jangan anggap sepele dan meremehkan orang gila, karena
dibalik gilanya telah menyimpan berbagai macam kepintaran bahkan kecerdasan yang
tak disangka-sangka. Sekali lagi, mereka juga manusia, hanya saja waktu
normalnya telah terbatas.
Post a Comment