Masa-masa Selama PPL Unsyiah
Memperingati Maulid Nabi di SMAN 1 Unggul Bitussalam |
“Sudahlah,
jadi guru itu juga bisa eksis, banyak uangnya juga, bisa ambil kredit, dan
bla-bla,” rayuan Ibuku.
“Kredit?
Akhir bulan korek tanah, Ibu...”
Dan
banyak lainnya, hingga aku pun luluh berkeping-keping berkesimbangan darah
mengalir tak berarah. Ku iyakan saja maksud hatinya. Dari pada dan dari pada
lainnya. Beliau bilang, enaknya jadi guru belum terasa di bangku kuliahan. Tapi,
saat status berubah menjadi mahasiswa akhir. PPL. Yah... itu emang benar. Dan sekarang
baru teriyakan.
***
Beranjak
di usia yang masih belia, aku mulai menikmati menjalani profesi ini. Bukan karna
uang, atau embel-embel lainnya. Tapi, karna niat yang beralaskan keikhalasan
serta ketulusan.
SMAN.
1 Unggul Baitussalam, itu tujuan pertama dan terakhir yang telah kurencanakan
sejak semester 6 lalu. Dan, alhamdulillah rencana berjalan atas izin-Nya. Kenapa
harus Aceh Besar? Disini juga masih banyak. Jawaban itu hanya aku dan Tuhan ku
yang tau. Lewat tahajjud dan doa aku telah berdiskusi dengan-Nya.
Tiga
minggu yang lalu, aku dan ke tujuh belas mahasiswa FKIP Unsyiah dilepaskan oleh
dosen koordinator dan ditangkap kembali sekitar tiga bulan kedepan. Waktu yang
singkat. Tapi cukup untuk menikmati profesi tanpa impian ini.
Setiap
pagi, aku selalu punya cerita lucu dan menarik bersama Lia.
Melewati
gunung, hutan, sawah, dan perkampungan.
Menikmati
udara pagi...
Bertemu
dan bersapa...
Setiap
hari kami bahagia...
Itulah,
nyanyian pagi kami bersama. Pukul tujuh lewat, udara senyap-sunyi,
meredup-redup pori-pori kulit, dan menloncatkan bulu-bulu tangan. Aku dan Lia
selalu memilih jalan perkampungan untuk menuju ke sekolah tujuan. Darussalam ke
Baitussalam. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit, atau bahkan kurang. Waktu
yang cepat meskipun perjalanan sedikit jauh.
Disana,
aku bertemu dengan orang-orang dari seluruh penjuru FKIP. Unsyiah duo Serambi.
pak Hasan (ketua), bu Rahmi (Bendahara), bu Lia, bu Ina dan bu Ani, bu Dewi, bu
Ema, bu Mufli, bu Hikmah, bu Erna, bu Miza, bu Sri, dan keempat Bapak lainnya.
Hari
beranjak hari, aku mulai terbiasa dengan rutinitas ini. Disiplin dan bangun
pagi lebih awal dari biasanya. Menikmati air bak yang dingin. Mungkin, ini
tidak akan terulang lagi. Tapi, akan terulang di waktu yang berbeda dengan
status yang beda pula. Bukan lagi mahasiswa PPL tapi guru yang berjabatan dan
bermartabat.
Setiap
hari mulai ku ukir goresan demi goresan. Membangun suatu mahkota yang belum
tertancap tiang. Dan mendalami dan belum tertanam. Kedekatanku kian hari
semakin dekat dengan siswa-siswa di sekolah. Aku begitu menikmati. Dan takut
jika perjalanan ini akan terhenti di tengah jalan. Jangan dan jangan pernah
terjadi. Tidak akan lengkap diary ku tanpa Happy
Ending. Bersama Lia, aku dan mereka. Karna cinta Allah selalu bersama kami.
Lewati pahit dan manis bersama.
Post a Comment