Bukan Buntu
Kak Aisyah…! Kak Aisyah…! Jangan pergi. Segerombolan penculik
itu membawa Dinda pergi dengan mengikat tangan dan menodorkan pisau di
kepalanya. Aisyah terus mengejar dan menangis dengan menyebut nama kakaknya. Sang
nenek hanya bisa terduduk diam di atas tanah dengan guraian air mata yang tak
terhenti. Suasana menjadi hening seketika. Aisyah seorang gadis kecil yang
tinggal di sebuah pendesaan bersama Dinda kakaknya dan nenek tua yang tak dapat
melihat lagi sejak kecelakaan bus itu terjadi.
Ntah kemana orang tua mereka. Ayah dan ibunya berjanji akan
pulang setelah berhasil mendapatkan uang banyak dan membawa mereka pergi ke
kehidupan yang layak.
Aisyah dan Dinda tetap bisa tertawa dan tersenyum meskipun
sang ibu dan ayah tidak menghiasi hari-hari mereka. Nenek tua yang hanya
bermodalkan tenaga dan kasih sayang yang takkan terganti. Dua belas tahun sudah
mereka hidup berkecupan dengan rumah seperti istana yang siap di terjang
Bandai. Sebuah gubuk yang terletak di desa Ulee Ateung, Simpang Ulim Aceh
Timur. Ketabahan, kesabaran, dan kekuatan sang neneklah yang selalu bekerja keras untuk membahagiakan
cucu-cucunya.
Nenek, Aisyah rindu kakak…! Ngapain kakak ya nek? Tanya
Aisyah dengan wajah muram. Jangan sedih cu, Aisyah masih ingat pesan kak dinda?
Tiga hari sebelum kejadian ini terjadi, Dinda pernah berpesan kepada Aisyah.
Aisyah kalau seandainya kakak pergi, Aisyah jangan sedih ya, Aisyah harus
selalu tersenyum dan jaga nenek baik-baik. Suasana hening, air mata tak
tertahan lagi. Angin dan hujan menambah suasana malam penuh rasa. Sebuah gubuk
kecil dan sepotong lilin yang menyala dengan menerangi malam yang gelap ini.
Tetangga hanya bisa diam membisu, sebuah doa yang dapat di
tuturkan untuk nenek dan cucunya yang malang ini. Nek, saya sudah lapor polisi,
tetapi polisi belum memberi jawaban hingga sekarang. Nenek dan Aisyah sabar
aja. Aisyah sudah makan? Aisyah hanya menggelengkan kepalanya. Wajahnya penuh
duraian air mata. Om Fardi, tetangga setia kami. Beliau seperti ayah bagi
Aisyah.
Kehilangan sosok seorang kakak yang selalu menemaninya
membuat gadis kecil ini semakin kuat. Aisyah tidak boleh menyerah, menjaga
nenek adalah tanggung jawabnya semenjak dinda pergi.
Kebakaran…kebakaran….nek api…api…..tolonggggg….!!! sang nenek
terhentak dari tempat tidurnya. Tongkat nenek, mana tongkat nenek…? Si nenek
terus meraba-raba mecari tongkatnya. Ada apa cucuku? Tanya nenek. Nek, rumah
kita nek ada api, apinya gede nek…! Aisyah terus menangis dalam ketakutan. Astagfirullah…!!! Keluar cu,
keluar…!!! Teriak si nenek dengan keras.
Tolong…!!! Aisyah terus memanggil bantuan dari tetangga.
Nenek…!!! Jangan masuk, banyak api nek. Tiba-tiba nenek melepas genggaman
tangan aisyah dan menerobos si jago merah. Nenek….!!! Teriak Aisyah. Fardi yang
baru tiba, langsung memeluk Aisyah. Kenapa bisa terbakar syah? Tadi Aisyah
masak air, trus Aisyah lupa matiin api om, nenek om, nenek dalam api…!!!
Tolongin nenek om. Aisyah terus menangis hingga akhirnya ia pun terjatuh
pingsan. Tetangga berusaha menyadarkan Aisyah yang tak berdaya ini.
Wiung…wiung… minggir..minggir…!!! teriak seorang komando
kebakaran. Tiga puluh menit telah berlalu hingga si jago merah telah
menghabiskan gubuk yang hanya beratap daun rumbia dan berdinding bambu. Untuk
apa sudah? Semuanya telah habis. Si jago merah telah menghanguskan nenek bersama
kenangan itu.
Aisyah… ? panggil om ferdi. Saat om menemukan nenekmu, om
melihat sebuah kotak merah di tangannya. Sepertinya benda ini yang membuat
nenek Aisyah kembali ke dalam. Aisyah memungut kotak kecil itu. Setelah
pemakaman nenek selesai. Aisyah duduk di samping kuburan nenek dengan linangan
air mata. Aisyah mencoba untuk membuka kotak itu. Ah… apa yang terjadi? Air
mata Aisyah terus mengalir kencang. Entah ini perasaan sedih atau senang.
Semuanya bercampur seperti permen nano-nano.
@@as@@
Mbak, pesan pasta aisdin ya 1 bungkus. Oke mbak, 2 menit siap
di antar. Siapa sangka. Aisyah yang dulu hidup dengan duraian air mata setelah
di tinggal pergi sesosok kakak dan nenek. Kini ia telah meraih kesuksesannya di
ibu kota, Banda Aceh. Aisyah bangkit dari keterpurukan. Aisyah yakin, kak Dinda
pasti bangga melihatnya, dan nenek aku rindu padamu. Tunggu aku di syurgamu.
Gumam Aisyah dengan memanjatkan doa untuk kakak dan neneknya.
Gadis kecil yang kini beranjak dewasa telah menemukan
kesuksesannya di ibu kota. Dulunya yang hanya bermodalkan tenaga dan keahlian
dalam mencuci piring demi mengumpulkan beberapa lembar kertas, kini ia telah
berhasil membuka warung di pinggir jalan menuju pantai Ulee Lhee.
Aisyah…!!! Assalamualaikum. Apa kabar Aisyah? Seorang wanita
berhijab biru menghampirinya. Alhamdulillah
sehat kak, maaf, kakak kenal saya? Tanya Aisyah dengan penuh keheranan. Walah
Aisyah, kamu lupa ya sama aku? Iya sih, secara gitu aku sudah berubah sekarang,
tambah cantik. Tertawa kecil. Iya kakak? Aisyah makin penasaran. Lho, kok di
panggil kakak…! Kita sebanya lho. Aku neng, teman kecil kamu dulu di desa. Yang
suka nangis itu lho. Neng, yang anak ingusan itu. Spontan jawab Aisyah. Syutt….syuttt…
jangan ribut. Malu aku nanti di dengar orang. Sekarang kamu panggil aku Citra
aja ya. Pinta neng. Citra…???. Ho’oh, teman-teman aku di kota gak ada yang tahu
nama asli aku. Kamu diam saja ya. Kehangatan kembali, setelah sekian lama
Aisyah berpisah dengan Neng sahabat kecilnya.
Aku senang plus bangga sama kamu, Aisyah. Kenapa neng? Syutt…
uda aku bilang jangan paling neng, tapi c_i_t_r_a… oke. Mereka tertawa. Aku
frustasi syah, saat kamu pergi tinggalin aku tanpa ada sepotong surat yang kau tinggal.
Maaf aku harus pergi, aku merantau ke ibu kota dengan om Ferdi. Tujuan awal aku
ke kota mau mencari nenek dan orang tua kandungku. Apa? Ja…jadi… aku makin gak
ngerti syah?? Kamu ingatkan kotak merah
yang om ferdi kasih untuk aku di hari pemakaman nenek? Ternyata didalamnya tertulis alamat orang tua
dan nenek kandungku. Ja…jadi… nenek bukan… iya, mereka bukan keluarga
kandungku. Setelah aku cari tahu, ayah dan ibu ternyata membuangku karena
pernikahan mereka tidak mendapat restu dari nenek kandungku. Nenek juga tidak
menginginkan aku lahir. Jadi mereka memutuskan untuk membuang aku. Bagaimana
aku bertemu dengan nenek dan kak Dinda, aku tidak tau. Cerita Aisyah tentang
keluarga aslinya, dan bagaimana cara ia membongkar rahasia yang selama ini
tertutup rapat-rapat.
Sudahlah Aisyah, ada hikmahnya kan di balik kejadian ini.
Neng mencoba menenangkan Aisyah. Suasana penuh keharuan. Jadi, kenapa kamu gak
tinggal dengan keluarga asli kamu Syah? Gak mungkin Neng, mereka sudah bahagia
hidup di bawah istana yang berpagarkan besi itu. Ibu juga sudah menikah lagi
dan mempunyai dua pasang anak yang sudah beranjak dewasa. Aku ikhlas Neng, eh
Citra maksudnya…
Cit, mau coba mie pasta aisdin buatan aku gak? tanya Aisyah..
wuiss, pasta Aisdin?? Neng penasaran. Iya, orang desa bilang mie caluk, kalau
di kota-kota besar namanya pasta. Neng tertawa terbahak-bahak melihat Aisyah.
Jalan itu masih panjang selagi Allah masih menyalakan nyawa untuk
kita. Tidak ada yang perlu di sesali karna Allah akan memberika apa yang kita butuhkan
bukan apa yang diingikan. Kak Dinda aku masih berharap kamu pulang dan melihat
kesuksesanku, dan nenek semoga tenang disana yang ditemani bidadari-bidadari
syurga.
Post a Comment